[RENUNGAN PAGI] 1 Korintus 10:23-24, 31
Menjelang tahun baru Imlek, ada pemimpin-pemimpin gereja yang mempermasalahkan apakah orang Tionghoa yang sudah menjadi Kristen masih boleh ataukah tidak boleh merayakan tahun baru imlek.
Adanya permasalahan itu sebenarnya menunjukkan belum tuntasnya pergumulan sebagian pemimpin gereja di dalam menggumuli hubungan iman Kristen dengan tradisi dan budaya lokal.
Pada masa lampau, pada saat orang-orang Barat membawa Injil ke berbagai tempat di Asia dan Afrika, banyak misionaris yang memiliki pemahaman bahwa jika seseorang sudah benar-benar menjadi Kristen, maka ia harus membuang segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan lamanya. Ia tidak boleh mencampur-adukkan kepercayaan lama dengan kepercayaan barunya, karena itu adalah sinkretisme. Jadi, ia harus hidup dalam budaya “Kristen”, yang sama sekali berbeda dengan tradisi dan budaya lokal yang sebelumnya sudah dijalani orang itu begitu lama.
Apakah pendekatan seperti itu sudah tepat?
Tampaknya tidaklah tepat. Sebab kalau seseorang yang menjadi Kristen diwajibkan membuang semua tradisi dan budaya lamanya, maka itu sama saja menyuruhnya menolak keberadaan dirinya sendiri. Ia akan menjadi asing bagi dirinya sendiri, tercabut dari budayanya, dan tidak dapat menjadi kesaksian bagi teman-teman sesuku-bangsanya.
Lalu bagaimana seharusnya sikap orang Kristen terhadap tradisi dan budaya setempat?
Mari kita belajar dari firman Tuhan, khususnya 1 Korintus 10:2-24, 31. Konteks pergumulan jemaat Korintus pada saat itu adalah berkenaan tradisi makanan persembahan berhala, tetapi prinsip-prinsip kebenarannya dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks tradisi dan budaya setempat masa kini.
Terhadap tradisi dan budaya setempat kita harus bersikap positip, kritis, selektif dan transformatif.
Positif, artinya terbuka terhadap tradisi dan budaya setempat dengan terang firman-Nya (1 Kor. 10:23a).
Kritis, artinya dapat mempertimbangkan apakah itu berguna atau tidak, membangun atau tidak, dan sesuai dengan kehendak-Nya atau tidak (1 Kor. 10:23b).
Selektif, artinya dapat memilih apa yang berguna dan membangun, tetapi bukan hanya untuk kepentingan sendiri melainkan juga untuk kepentingan orang lain (1 Kor. 10:24).
Transformatif, artinya ada pembaharuan dari dalam ke luar, sehingga segala sesuatu dapat dilakukan untuk kemuliaan Allah (1 Kor. 10:31).
Good morning. God bless you.
Andreas Loanka